Rujukan: Belajar Dari Dua Umar
Ali lelaki yang penuh ilmu dengan pemahaman mendalam, sekaligus periang dan penuh kelakar.
Demikianlah Umar Al-Khattab menyifatkan Ali. Umar, meskipun memiliki firasat yang tajam, bukanlah orang yang sekilas lalu memberikan penilaian. Umar memiliki tiga ukuran untuk mengenali sifat sebenar seseorang.
Satu saat ketika seseorang memuji kawannya dalam persaksian sebagai orang baik, Umar bertanya kepadanya,"Apakah engkau pernah memiliki hubungan dagang atau hutang-piutang dengannya sehingga engkau mengetahui sifat jujur dan amanahnya?”
“Belum,” jawabnya ragu.
“Pernahkah engkau berselisih perkara dan bertengkar dengannya sehingga tahu dia tidak fajir kala berbantahan?”
“Emm, juga belum…”
“Pernahkah engkau berpergian dengannya selama sepuluh hari sehingga telah habis kesabarannya untuk berpura-pura lalu kamu mengenali watak-watak aslinya?”
“Itu, itu juga belum”
“Kalau begitu pergilah engkau, wahai hamba Allah. Demi Allah engkau sama sekali tidak mengenalinya!”
….
Menjelang wafat, Umar memberikan penilaian kepada keenam calon penggantinya, termasuk Ali, dengan pengenalan yang jujur dan amat terus terang. Imam Az-Zuhri meriwayatkan kejadian itu sebagaimana diuraikan oleh Ibnu Abil Hadiid dalam Kitab Syarh-nya. “Ketika terbaring akibat lukanya, Umar al-Khattab meminta agar keenam anggota Majis Syura yang telah ditunjuknya dihadirkan dan memulai musyawarah dekat dengannya. Lalu beliau meminta didudukkan.
“Apakah masing-masing antara kalian, berhabis-habisan untuk menjadi khalifah setelahku?” Tanya Umar.
Semua yang hadir terdiam takut. Tapi mereka melihat Umar menyeringa. Ketika dia berteriak, rupanya darah menyembur dari lukanya. Setelah terdiam sejenak, Umar mengulangi pertanyaannya.
“Apakah masing-masing di antara kalian berhabisan untuk menduduki khilafah sepeninggalanku? Jawablah aku!”
Az-Zubair Ibn Al-Awwam memberanikan diri. “Benar,” ujarnya. “Memangnya apa yang menjauhkan dan menghalangi kami darinya, sedang engkau hai Umar telah menjabat dan melaksanakannya? Padahal tidaklah kami lebih rendah daripada engkau di kalangan Quraisy, juga dalam hal siapa yang lebih dulu masuk Islam, demikian pula Rasulullah?”
Umar tersenyum. “Bersediakah kalian, aku beritahukan tentang sifat-sifat diri kalian?” Tanya Umar.
Mereka menjawab “Ya. Sebab engkau jujur dan keras, dan engkau takkan memaafkan kami ataupun meringankan penilaian jika kami meminta maaf!”
“Adapun engkau hai Zubair,” kata umar sambil menghela nafas,”Adalah orang yang cepat terbakar amarah, sempit dada, serta penuh ambisi. Engkau seorang mukmin apabila redha, dan sekaligus seorang kafir disaat murka. Sehari sebagai manusia, sehari sebagai syaitan. Boleh jadi jika aku memilihmu dan menyerahkan khilafah kepadamu, nescaya engkau akan berbuat aniaya bahkan meski hanya pada satu mud gandum. Fikirkanlah hai Zubair, jika aku memasrahkannya padamu, siapa yang akan jadi pemimpin manusia pada hari engkau menjadi syaitan dan pada saat kemurkaanmu meledak? Demi Allah. Dia tidak akan menyerahkan urusan ummat Muhammad ini padamu sedang dalam dirimu masih bersemayam sifat-sifat ini.”
Az-Zubair tertunduk malu.
Kemudian Umar menghadap kearah Thalhah ibn ‘Ubaidillah. “Apakah aku akan bicara tentangmu atau diam?” tanyanya.
“Bicaralah. Tapi memang aku tahu, sesungguhnya engkau takkan bicara tentang kebaikanku sedikit pun!” jawab Thalhah.
“Demi Allah, hai Thalhah, aku tidak mengenalmu lagi sejak hilangnya jari-jarimu di perang Uhud. Kau dirasuki bangga diri dan sombong. Telah wafat Rasulullah dalam keadaan murka atas apa yang engkau katakan sehinggalah turun ayat hijab. Hai Thalhah, apakah akan aku tambah lagi atau aku diam?”
Thalhah nyaris menangis. “Diamlah! Itu cukup!” katanya teresak.
Kemudian Umar menghadap ke arah Sa’d ibn Waqqash. “Adapun engkau, hai Sa’d, adalah tukang berburu, pemilik busur, anak panah dan tombak. Engkau adalah bagian dari sekumpulan kuda perang dan pasukan. Engkau seorang panglima perang yang memiliki kuku-kuku singa. Namun engkau bukan khalifah! Bahkan Bani Zuhrah pun takkan sanggup engkau mengurusnya!”
Lalu Umar menghadap ke arah Ali ibn Abi Thalib.
“Dan adapun engkau hai Ali, demi Allah, seandainya bukan kerana unsur kelakar dalam dirimu, nescaya engkau boleh membawa mereka pada tujuan yang terang dan kebenaran yang jelas ketika engkau memimpin mereka. Sayangnya, mereka tidak mahu engkau membawa mereka ke sana. Mereka takkan melakukannya.”
Setelahnya, Umar menghadap ke arah Abdurrahman ibn auf.
“Dan engkau wahai Abdurrahman, seandainya setengah iman seluruh kaum Muslimin ditimbang dengan imanmu, maka imanmu akan lebih berat. Akan tetapi, dalam dirimu terdapat kelemahan. Dalam hal khilafah ini, takkan baik jika dipegang oleh orang yang memiliki kelemahan seperti kelemahanmu!”
Abdurrahman ibn Auf mengangguk-angguk dan tersenyum.
Terakhir, Umar menghadap Uthman dan memintanya mendekat.
“Sepertinya hai Uthman, Quraisy akan mempercayaikan urusan khalifah ini kepadamu lantaran kecintaan mereka keatasmu, Ya Dzun Nurain. Lalu engkau akan mempersamakan dan mengangkat Bani Umayyah serta Bani Mu’aith atas manusia dan memuliakan mereka dengan fai’. Lalu sekelompok serigala-serigala bangsa Arab akan menyerang dan membunuhmu di tempat tidurmu. Demi Allah, seandainya mereka menyerahkan khilafah kepadamu, nescaya itulah yang akan enkau alami. Dan seandainya engkau menerima, nescaya itulah yang akan terjadi.
Umar mendekatkan kepalanya kepada Uthman. Diusapnya ubun-ubun Uthman dengan penuh kasih, lalu dia berbisik di telinga Uthman, “Ingatlah ucapanku ini. Sebab ia akan terjadi.”
Wallahu'alam...
Comments
Post a Comment